Oleh: Mulyadi K. Tawari

Pegiat PILAS

Mahasiswa Teknik Sipil Unkhair Ternate

___________________

SEBUAH wilayah kerajaan dengan label kota rempah menampakan tentang persepsi kesakralan oleh masyarakatnya. Kota Ternate, wilayah yang memiliki sejarah peradaban panjang dari beberapa dekade. Tidak hanya dikenal dengan destinasi wisata, budaya, dan sejarah perebutan rempah oleh bangsa Eropa. Akan tetapi ada beberapa peristiwa penting yang disembunyikan, bukan sekadar peristiwa biasa. Hal ini adalah masalah kemanusiaan yang berpengaruh di setiap sektor kota-kota kecil lainnya, bahwa memahami prostitusi adalah masalah dewasa untuk setiap generasi sesat.

Kota ini berubah dari waktu ke waktu lalu dengan perlahan membawa setiap generasi tersesat. Rupanya memahami pelacur dalam bisnis prostitusi tidak cukup hanya dengan mengikuti perkembangan Kota Ternate, kita perlu menggali lebih dalam tentang budaya, keagamaan sekaligus sejarah Ternate. Perihal ini penulis melihat dalam buku “Bisnis Perbudakan Seksual” merupakan gambaran nyata. Cacho telah merangkum berbagai penelitian yang telah dialaminya. Sebagai sandaran dengan konteks seksual yang diperjualbelikan sangatlah bertolak belakang dengan budaya di ranah kota ini.

Kebebasan adalah kebebasan, bukan kesetaraan, bukan keadilan, bukan budaya, maupun kebahagiaan manusia, atau hati nurani yang tenang. Berlin dalam Cacho (1963). Bagaimana rasanya bisa melakukan apa yang selama ini setiap manusia inginkan, tidak hanya sekadar kalimat, melainkan suatu energi baru memulainya kembali. Satu pernyataan mampu membawa setiap perempuan yang memilih terjun dalam dunia prostitusi demi mencukupi kebutuhan ekonomi. Mereka di kekang tanpa kebebasan, dalam jaringan prostitusi usia sangatlah berpengaruh pada setiap tamu langganan seksual. Rata-rata gadis dengan usia di atas delapan belas lebih dominan diminati ketimbang yang sudah mencapai usia tiga puluhan. Mereka menghabiskan sisa hidup mereka sebagai pelacur bahkan ada yang menjadi pelanggan setia serta mempromosikan pasar untuk eksploitasi seksual.

Kehidupan dewasa bukanlah suatu pilihan melainkan tanggung jawab agar setiap insan bertuhan memahami jati dirinya. Saya mencoba tampil dengan pemikiran awam perihal pelacur bukanlah kejahatan. Gadis-gadis yang terlibat di dalamnya mereka adalah simbol pemilih, mereka bukan melakukan satu kejahatan, melainkan keliru dalam memilih setiap keputusan yang diambil tanpa ada pertimbangan. Kebanyakan gadis usia 18+ mereka akan tinggal bersama gadis muda lainnya, pulang ke kampung atau rumah bukanlah pilihan bagi sebagian besar mereka.

Lydia Cacho (1963) menguliti beberapa catatan hariannya tentang perdagangan manusia (bisnis perbudakan seksual), dalam bukunya ia menggali serta mengupas mentalitas maskulin sehubungan dengan perempuan dan seksualitas. Menjadi perempuan bukanlah suatu kutukan. Manusia tidak punya kuasa memilih dilahirkan seperti apa, dengan watak serta kepribadian yang ia suka ataupun keluarga yang menjujung tinggi martabat jati dirinya. Kebanyakan orang dengan latar belakang pengusaha, pemerintahan dan aparat sekalipun ialah yang paling dominan dalam jaringan ini. Dengan kesadaran penuh ikut menyaksikan bisnis prostitusi yang berlaga seperti rumah bordir, panti pijat atau Spa dan sebagainya memperdagangkan manusia, demi menyelamatkan kelaparan. Operasi ini merupakan inti perdebatan global yang disembunyikan.

Menjaga kuantitas, merawat generasi serta memperbaiki kultural. Oleh karena itu, tombak utama dalam prostitusi harus dihentikan, dilegalisasi atau dihapuskan. Selama prostitusi didukung atau diatur oleh pemerintah, setiap kebijakan publik untuk menetapkan pemisahan antara korban dan “profesional” tidak akan berhasil.

Ternate harus bebas dari jaringan ini demi menjaga setiap generasi. Seks tidak bisa dianggap sebagai industri, seks adalah tindakan kejahatan merusak mental. Semua tragedi kemanusiaan adalah hasil dari ide dan strategi. Sebagai negeri para raja, membeber semua kaki tangannya ialah tanggung jawab dan misi seumur hidup. Ternate harus tumbuh dan berkembang di bidang infrastruktur, ekonomi serta pariwisata. Bukan ikut serta dalam jaring prostitusi.

Beberapa dari korban perdagangan telah mencoba keluar dari jaringan ini tanpa ada kebebasan, mereka dikekang dan tak bisa menolaknya itulah yang terjadi jika terikat dalam sistem prostitusi, tidak mudah untuk setiap perempuan dengan ingatan yang membekas penuh trauma. Jangan biarkan para korban yakin bahwa mereka adalah kasta yang tidak diinginkan. Dan satu-satunya kemenangan adalah dengan menjadikan korban sebagai paria di mana mereka percaya bahwa tak seorang pun menginginkan mereka kecuali orang-orang yang membeli mereka.

Alih-alih mencoba menghapuskan prostitusi sebagai bentuk protes yang terlanjur liar pada kalangannya. Halnya “interpol” dalam Cacho (1963) juga menyatakan tidak ada mafia besar, di wilayah ini perdagangan perempuan adalah masalah kultural, seksisme, dan kemiskinan. Kebenarannya sederhana prostitusi bukan masalah seksualitas perempuan, melainkan ciptaan laki-laki. Jika laki-laki di seluruh dunia tidak ada meminta seks berbayar, sepertinya tidak akan ada keburukan untuk menyudutkan, menghancurkan, dan menuduhkan jutaan perempuan dewasa dan anak-anak perempuan dalam kondisi tak manusiawi ini.

Perbudakan dan perdagangan manusia bukanlah warisan para generasi adalah motto penggerak suatu daerah, Ternate bisa bebas juga terlepas dalam dunia prostitusi. (*)