Oleh: Jufri Senen
Mahasiswa HKI IAIN Ternate

____________________

DI balik fakta bahwa kesejahteraan rakyat dan kejahatan pemerintah bukanlah hanya konsep mistis belaka, melainkan isu faktual yang dapat dianalisis melalui lensa yang diistilahkan dalam instrumen “equality before the law” (kesetaraan di hadapan hukum). Konsep ini “equality before the law” pada penekannya bahwa semua individu, tanpa memandang status sosial, ekonomi, atau politik, harus diperlakukan sama di mata hukum. Namun, hal ini pada realitanya, bahwa faktanya penerapan prinsip ini seringkali tidak berlakukan secara sempurna oleh pemerintah.

Terbukti bahwa kejahatan pemerintah, yang mencakup korupsi, penyalahgunaan kekuasaan, dan pelanggaran hak asasi manusia, seringkali berdampak negatif terhadap kesejahteraan rakyat. Seperti korupsi, misalnya, dapat menghambat pembangunan infrastruktur, mengurangi kualitas layanan publik (kesehatan, pendidikan), dan memperlebar kesenjangan ekonomi di anggap sebagai tindakan yang tidak perlu di analisa lebih dalam. Kemudian pelanggaran HAM oleh pemerintah dapat mengakibatkan penderitaan fisik dan psikis bagi warga negara, serta mengikis kepercayaan publik terhadap institusi negara. Kurangnya kesejahteraan rakyat dapat menciptakan kondisi sosial yang rawan konflik dan ketidakstabilan.

Di mata “Equality before the law” sebagai Alat Ukur yang dikenal sebagai prinsip dalam penegakan hukum seharusnya menjadi alat ukur untuk menilai sejauh mana pemerintah bertanggung jawab atas tindakannya dan memastikan keadilan bagi rakyat. Kemudian jika pemerintah melakukan kejahatan, prinsip ini menuntut agar mereka diadili dan dihukum sesuai dengan hukum yang berlaku, tanpa mendapatkan perlakuan istimewa. Namun, dalam praktiknya, seringkali terjadi ketidakadilan. Akses terhadap keadilan, baik dalam bentuk proses hukum maupun penegakan hukum, seringkali tidak merata. Kelompok yang kurang berdaya seringkali kesulitan untuk mendapatkan keadilan, sementara kelompok yang berkuasa mungkin dapat menghindari konsekuensi atas tindakannya.

Dan kemudian kita melihat dari Fakta vs Mistis. Bahwa isu kesejahteraan rakyat dan kejahatan pemerintah bukanlah hal mistis. Data dan bukti empiris, seperti laporan lembaga anti-korupsi, laporan HAM, dan statistik kemiskinan, dapat digunakan untuk mengukur tingkat kesejahteraan rakyat dan mengidentifikasi kejahatan pemerintah. Namun, pengakuan dan penanganan isu ini seringkali terhambat oleh berbagai faktor, termasuk kurangnya transparansi pemerintah, lemahnya penegakan hukum, dan kurangnya akses informasi bagi masyarakat, secara realitanya terbukti sesuai yang terjadi saat ini.

Pada pokoknya kesejahteraan rakyat dan kejahatan pemerintah merupakan isu yang faktual dapat diukur dan dianalisis. Karena prinsip “equality before the law” seharusnya menjadi landasan untuk memastikan keadilan dan akuntabilitas pemerintah. Namun, kesenjangan dalam penerapan prinsip ini seringkali mengaburkan fakta dan menciptakan ketidakadilan. Untuk menegakkan keadilan penting untuk terus memperjuangkan transparansi, penegakan hukum yang adil, dan akses keadilan yang merata bagi seluruh warga negara, keadilan adalah cinta bukan fiktif bagi penguasa belaka. (*)