Oleh: Muhamad Asri Adende
Pemuda Pulau Hiri dan Ketua Komunitas Eurecha
______________________
SUDAH lebih dari delapan bulan sejak DPRD Kota Ternate dilantik pasca Pemilu 2024, namun hingga hari ini, wajah Dermaga Pulau Hiri masih menyimpan luka lama yang tak kunjung sembuh. Dermaga itu tak hanya dibangun melalui data lapangan yang orisinil, tetapi juga mewakili keretakan hubungan antara negara dan warga pulau. Di sinilah kita melihat jelas bagaimana infrastruktur bisa menjadi cermin subordinasi kekuasaan.
Pulau Hiri merupakan bagian sah dari wilayah administratif Kota Ternate, tapi faktanya tidak pernah menjadi bagian penting dari perencanaan pembangunan kota. Kondisi dermaga yang memprihatinkan—tanpa fasilitas dasar, tidak ramah terhadap arus barang dan orang, serta berbahaya saat cuaca buruk—telah berlangsung bertahun-tahun. Padahal, dermaga ini adalah nadi kehidupan warga untuk bersekolah, berobat, berdagang, dan terhubung dengan dunia luar.
Dalam teori kekuasaan, keadaan ini bukan sekadar kelalaian administratif, melainkan bentuk subordinasi struktural. Pulau Hiri, seperti banyak wilayah kepulauan lainnya, kerap dianggap sebagai pinggiran politik—wilayah yang keberadaannya diakui, tetapi jarang diutamakan. Kekuasaan kota terlalu daratan-sentris. Akses, anggaran, dan perhatian lebih banyak mengalir ke pusat, sementara Hiri dibiarkan dalam ketergantungan dan keterisolasian.
Konsep subordinasi ini sejalan dengan apa yang dikemukakan para pemikir kritis seperti Edward Said dan Gayatri Spivak dalam kajian poskolonial, bahwa pinggiran kerap dibentuk melalui bahasa kekuasaan yang mengabaikan suara lokal. Pulau Hiri menjadi “yang lain” di hadapan pusat kekuasaan Kota Ternate, bukan karena tidak penting, tetapi karena tidak dianggap strategis dalam logika kekuasaan dominan. Infrastruktur seperti dermaga yang semestinya menjadi sarana pelayanan publik justru menjelma simbol marginalisasi.
Ironisnya, Pulau Hiri telah memilih wakilnya sendiri di DPRD Kota Ternate, bahkan dengan suara terbanyak. Namun apa arti representasi jika tak disertai perjuangan nyata? Warga pulau berharap kehadiran legislator seperti Julfikri Hasan bisa menjadi jembatan antara kebutuhan riil warga dan keputusan anggaran. Tetapi setelah hampir sembilan bulan menjabat, masyarakat belum melihat keberpihakan konkret terhadap isu-isu mendasar seperti revitalisasi dermaga. Aspirasi warga pulau seolah hanya menjadi alat kampanye, bukan mandat untuk diemban secara serius.
Dalam logika politik demokrasi, representasi seharusnya membawa perubahan. Namun, pengalaman Pulau Hiri menunjukkan bahwa menjadi bagian dari sistem tidak serta-merta menjamin diperhatikannya kebutuhan dasar. Demokrasi prosedural seringkali berhenti pada kotak suara, tanpa menjangkau kehidupan sehari-hari masyarakat. Ketika suara sudah dihitung, maka suara hati warga kembali dibiarkan sunyi.
Ketika negara gagal menyediakan dermaga yang layak, itu bukan sekadar soal logistik. Itu adalah pengingkaran atas hak dasar warga negara. Lebih jauh lagi, itu mencerminkan bagaimana kekuasaan bekerja secara eksklusif—mengutamakan suara keras di pusat, dan mengabaikan suara kecil dari pinggiran. Struktur ini menegaskan apa yang disebut oleh ahli sosiologi Manuel Castells sebagai ruang-ruang kesenyapan—wilayah yang tidak mendapatkan pantulan suara dalam sistem komunikasi politik yang sentralistik.
Sebagaimana dikatakan oleh C. Wright Mills, kekuasaan dalam sistem demokrasi modern cenderung terpusat di tangan segelintir elite. Jika pembangunan dermaga tidak masuk dalam orbit kekuasaan elite kota, maka wajar jika ia terus-menerus ditunda, dinegosiasi, atau dilupakan. Politik anggaran yang bersifat elitis akan selalu berpihak pada proyek-proyek yang menguntungkan secara ekonomi-politik, bukan pada kebutuhan rakyat di pulau-pulau terpencil.
Hal ini menandakan bahwa proyek infrastruktur bukanlah entitas netral. James C. Scott dalam Seeing Like a State (1998) menyatakan bahwa negara membangun infrastruktur bukan hanya untuk pelayanan publik, tetapi juga untuk menyederhanakan dan mengendalikan ruang sosial. Maka, ketika dermaga tak dibangun dengan logika kebutuhan masyarakat, ia berubah menjadi artefak politik—yang mencerminkan siapa yang diprioritaskan, dan siapa yang dikesampingkan.
Persoalan Dermaga Hiri juga memperlihatkan kekosongan koordinasi dan komitmen antara pemerintah daerah, legislatif, dan pemangku kepentingan lainnya. Tidak adanya kejelasan anggaran untuk revitalisasi dermaga menunjukkan lemahnya integrasi antara perencanaan dan pelaksanaan. Bahkan, dalam beberapa tahun terakhir, dermaga Hiri kerap hanya menjadi “catatan kaki” dalam dokumen RPJMD Kota Ternate, tanpa prioritas aksi nyata.
Dalam konteks inilah penting untuk menyuarakan kembali pentingnya keadilan spasial. Edward Soja menyatakan bahwa ketimpangan pembangunan ruang bukan hanya persoalan ekonomi, tapi juga politik dan ideologi. Ruang tidak pernah netral, ia selalu mencerminkan keputusan kekuasaan: siapa yang diprioritaskan, siapa yang diabaikan. Dan Pulau Hiri adalah contoh konkret dari ruang yang terus-menerus diabaikan dalam narasi pembangunan kota.
Hari ini, warga Pulau Hiri tidak menuntut kemewahan. Mereka hanya ingin dermaga yang aman, kokoh, dan berfungsi layaknya fasilitas publik di kota lain. Mereka hanya ingin diakui secara setara, bukan sekadar menjadi data statistik dalam laporan tahunan pemerintah. Kehadiran negara seharusnya diwujudkan dalam bentuk paling nyata: infrastruktur yang adil, terjangkau, dan memanusiakan.
Namun faktanya, pembiaran terhadap infrastruktur yang kolot justru memperlihatkan bahwa negara hadir secara selektif. Ia hadir di ruang-ruang yang bisa dipolitisasi, tetapi absen dalam memenuhi hak dasar masyarakat yang tidak dianggap menguntungkan secara politik. Ini bukan sekadar bentuk abai administratif, tetapi wujud nyata dari hierarki kekuasaan yang menciptakan ruang pinggiran secara struktural.
Apabila para pemegang kekuasaan—eksekutif maupun legislatif—masih menutup mata terhadap kondisi ini, maka wajar jika publik mempertanyakan kembali: untuk siapa kekuasaan dijalankan? Apakah untuk rakyat, atau untuk mempertahankan dominasi segelintir kelompok? Ketika warga Pulau Hiri hanya dijadikan pelengkap demokrasi elektoral tanpa hasil nyata dalam kehidupan sehari-hari, maka demokrasi itu sendiri kehilangan legitimasi.
Kepercayaan warga bukanlah warisan yang bisa diwariskan dari pemilu ke pemilu. Ia harus dijaga dengan kerja nyata, akuntabilitas, dan keberpihakan. Dermaga Hiri adalah ujian integritas bagi para wakil rakyat dan pemimpin daerah. Apakah mereka berani berpihak, atau justru larut dalam budaya pembiaran?
Pada akhirnya, pertanyaan tentang dermaga adalah pertanyaan tentang siapa yang dianggap penting dalam peta pembangunan. Jika pemerintah terus menunda rehabilitasi dermaga, maka mereka sesungguhnya sedang mengirim pesan: bahwa hidup warga pulau bisa ditunda, bahwa keselamatan warga pesisir bisa dinegosiasikan, dan bahwa keadilan spasial masih menjadi mimpi jauh dari kenyataan.
Maka dari itu, memperjuangkan dermaga bukan hanya soal proyek fisik, tapi juga bagian dari perjuangan melawan subordinasi kekuasaan. Ini adalah perjuangan untuk memastikan bahwa negara hadir bukan hanya di pusat kota, tetapi juga di tepian pulau—tempat suara-suara kecil terus menanti didengar.
Dermaga Hiri bukan hanya simbol keterhubungan fisik, melainkan juga simbol harapan, keberpihakan, dan kesetaraan. Dan setiap hari penundaan adalah bentuk pengkhianatan terhadap cita-cita keadilan sosial. Sudah waktunya negara melihat ke tepian, dan menjadikan pinggiran sebagai pusat dari perhatian. (*)
Tinggalkan Balasan