Tivanusantara – Bupati Kabupaten Halmahera Tengah, Ikram Malan Sangaji, tiba-tiba mengeluarkan surat edaran tentang pemberhentian sementara aktivitas pengelolaan objek wisata Boki Maruru di Desa Sagea. Belum ada alasan jelas apa penyebab Bupati mengelurkan surat tersebut. Yang pasti, jika aktivitas pengelolaan wisata di Boki Maruru dihentikan, maka tidak sedikit warga Halmahera Tengah kehilangan sumber pendapatan.

Tak terima dengan surat edaran tersebut, warga ramai-ramai menolak. Pemilik lahan atas nama Yurnida Dj Sehe juga menolak edaran Bupati Ikram nomor 100.2.1/0368/2025 tertanggal 21 April 2025 tersebut.

Yurnida melalui kuasa hukumnya, Rustam Ismail, mengatakan kliennya dan masyarakat yang membangun usaha kecil di lokasi wisata Boki Moruru menolak edaran tersebut. “Saya sampaikan bahwa beberapa masyarakat yang membangun kios dan tempat makan di atas areal tanah dekat kali Boki Maruru tersebut adalah tanah milik Yurnida Dj Sehe, yang mana telah memberi izin kepada Kompepar (Komunitas Pemerhati Pariwisata Boki Moruru) untuk membangun tempat jualan (kios) dan tempat makan di atas tanah tersebut,” ujar Rustam, Rabu (23/4).

Untuk itu, kata dia, pemerintah daerah dan pemerintah desa setempat tidak boleh melarang apalagi mengeluarkan para pengelola tanah tersebut. “Bahkan, ada informasi yang kita dengar bahwa kepala desa Sagea telah membayar tanah milik Yurnida Dj Sehe dan suaminya Sugandi Bawole sejak tahun 2023. Setelah saya konfirmasi kepada Ibu Yurnida terkait kebenaran penjualan tanah tersebut, klien saya tidak tahu menahu dan desa setempat tidak pernah bertemu sama beliau ihwal pembelian dan pembayaran tanah miliknya,” tegasnya.

Ia menjelaskan, setelah ditelusuri, ternyata ada dokumen surat jual beli yang diduga dilakukan oleh Kepala Desa Sagea, Arif Taib dan istrinya pada 3 Agustus 2023 tanpa sepengetahuan dan persetujuan Yurnida. “Yang bersangkutan tidak tahu karena suaminya sudah pergi tinggalkan Yurnida sejak 2006 sampai sekarang dan informasi yang bersangkutan telah menikah tanpa sepengetahuan dan izin istri sah,” kata dia.

Jika pihak pemerintah desa mengklaim bahwa tanah tersebut sudah milik Desa Sagea berdasarkan surat jual beli tersebut lalu mengambil tindakan untuk mengusir masyarakat yang mengelola di atas tanah itu, maka pihaknya menyarankan kepada Pemkab Halteng dan pemerintah desa setempat agar tidak mengambil tindakan yang merugikan masyarakat pengelola tanah tersebut. “Karena tindakan kepala desa Sagea untuk membeli objek tanah milik Yurnida tidak sah atau tidak memiliki kekuatan hukum. Sebab saudara Sugandi Bawole menjual tanah milik bersama (harta bersama) tanpa sepengetahuan dan persetujuan dari klien kami sebagai istrinya,” jelasnya.

Menurut Rustam, hal tersebut diatur dalam pasal 36 ayat (1) Undang-undang (UU) nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan, bahwa suami istri dapat bertindak atas harta bersama dengan persetujuan kedua belah pihak. Dengan demikian, sambungnya, salah satu pihak baik suami atau istri tidak dapat mengesampingkan atau meninggalkan pihak lainnya untuk melakukan perbuatan hukum yang berhubungan dengan harta tersebut karena kedudukan keduanya sama.

Dalam masalah ini, tanah yang dibeli suami atau istri setelah menikah digolongkan sebagai harta bersama yang tunduk pada ketentuan di atas. “Peralihan hak atas objek tanah tersebut melalui proses jual beli antara kades dan suami klien kami harus dilakukan di depan Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) dan memerlukan persetujuan istri dari saudara Sugandi Bawole yaitu Yurnida Dj Sehe dan persetujuan tersebut dalam bentuk tanda tangan istri,” ujar Rustam.

Ia menuturkan, dalam praktik peradilan ada putusan Mahkamah Agung (MA) nomor 701K/Pdt.1977 yang secara tegas menyatakan bahwa surat jual beli tanah yang merupakan harta bersama harus disetujui pihak istri atau suami, harta bersama yang dijual suami tanpa persetujuan istri adalah tidak sah dan batal demi hukum.

Bahkan, sertifikat tanah yang dibuat atas jual beli yang tidak sah tidak mempunyai kekuatan hukum. Adapun tindakan peralihan objek harta bersama tanpa persetujuan suami atau istri dapat dikategori sebagai perbuatan melawan hukum sebagaimana diatur dalam pasal 1365 KUH Perdata. “Untuk itu, saya sampaikan kepada para pihak yang mau menguasai tanah tanpa hak dan dasar hukum yang kuat, tidak serta merta melakukan aktivitas di atas objek tanah milik Ibu Yurnida dan suaminya sebelum ada kepastian hukum,” tegasnya.

Adapun Yurisprudensi Mahkamah Agung RI nomor 681K/SIP/1975 junto nomor 2690 K/Pdt/1985 tanggal 19 November 1986 junto momor 1851 K/Pdt/1996 tanggal 23 Februari 1998 yang pada intinya menyatakan jual beli tanah yang merupakan harta bersama harus persetujuan istri atau suami, harta bersama tanpa persetujuan salah satu pihak istri atau suami adalah tidak sah dan batal demi hukum.

“Pandangan saya di atas, maka surat jual beli antara kepala desa Sagea dan saudara Sugandi Bawole tidak memiliki kekuatan hukum. Olehnya itu, saya sarankan kepada pemerintah setempat jangan melakukan tindakan yang tidak memiliki dasar hukum yang kuat,” tegas Rustam.

Ia pun mempertanyakan, kenapa kepala desa membeli tanah tersebut tidak melakukan koordinasi terlebih dahulu dengan Yurnida yang sejak 2003 sudah mengelola tanah berupa berkebun di atas tanah tersebut.

“Jauh-jauh pergi ke Desa Lolan, Kecamatan Boloang Timur, Sulawesi Utara, bertemu dengan saudara Sugandi untuk melakukan jual beli tanah. Karena istri yang bersangkutan kan ada di Desa Sagea, kenapa kades tidak koordinasi? Terhadap masalah ini jika dikaitkan dengan surat edaran dari Bupati Halmahera Tengah nomor 100.2.1/0368/2025 yang secara eksplisit memberikan kewenangan kepada BUMDes setempat mengelola wisata Boki Moruru, saya sarankan harus dibicarakan secara baik-baik dangan pemilik lahan atau tanah yang hendak dipakai oleh BUMDes. Kalau tanpa persetujuan pemilik lahan maka tidak bisa menggunakan tanah milik Ibu Yurnida,” ujarnya.

“Kalau ada pihak yang hendak menyerobot lahan milik Yurnida, maka sebagai kuasa hukum kami akan mengambil hukum pidana maupun perdata. Kami juga dalam waktu dekat melaporkan dugaan penggelapan sebagimana diatur dalam pasal 372 KUHP karena mengalihkan status objek tanah tanpa persetujuan Ibu Yurnida Dj Sehe sebagai istri dari Sugandi,” sambungnya .

Masih menurut Rustam, pihaknya telah melakukan pengecekan lokasi tanah di areal wisata Boki Maruru. Ternyata yang dibangun fasilitas wisata oleh beberapa warga di atas tanah milik Yurnida dan suaminya itu atas izin kliennya. “Di atas lahan itu beberapa tahun lalu Pemda Halteng melakukan pembebasan lahan di atas tanah milik Yurnida untuk membangun jalan, tapi selebihnya masih milik Ibu Yurnida,” pungkasnya. (gon/xel)