Tivanusantara – Harapan publik agar Halmahera Selatan lebih maju, baik dari sisi pendidikan, ekonomi dan pelayanan kesehatan serta infrastruktur, kelihatannya bakal sia-sia saja. Salah satu penyebabnya adalah buruknya tata kelola pemerintahan di masa kepemimpinan Bupati Bassam Kasuba.

Dampak dari buruknya tata kelola pemerintahan di masa Bupati Bassam Kasuba membawa daerah ini ke jurang zona merah korupsi. Lihat saja, berdasarkan Survei Penilaian Integritas (SPI) 2024 yang dirilis Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Kabupaten Halmahera Selatan berada di urutan ketujuh dari keseluruhan kabupaten/kota di Maluku Utara dengan skor 64,81. Bukan tidak mungkin kalau Halmahera Selatan di bawah kepemimpinan Bupati Hasan Ali Bassam Kasuba menorehkan rekor memalukan di tahun 2024.

Skor ini berdasarkan pada beberapa penilaian, di antaranya integritas dalam melaksanakan tugas, pengelolaan anggaran, manajemen pengadaan barang dan jasa, manajemen sumber daya manusia, penyalahgunaan jabatan, sosialisasi antikorupsi, serta transparansi.

Manajemen pengadaan barang dan jasa juga terbilang buruk. Salah satu sumber korupsi terletak pada aspek ini. Proses awalnya telah menimbulkan banyak persoalan, mulai ketidaksesuaian prosedur hingga hasil pengadaan tidak mencerminkan nilai yang seharusnya.

Zona merah korupsi di Halmahera Selatan ini mendapat respons banyak kalangan, termasuk Direktur Indonesia Anti-Corruption Network, Igrissa Majid. Kata dia, skor 64,81 setidaknya mengonfirmasi bahwa model pemerintahan daerah Kabupaten Halsel di bawah kepemimpinan Bupati Bassam Kasuba mengoperasikan sistem tata kelola yang tidak transparan dan profesional. Bahkan dapat dikatakan hanya berdasarkan patron-klien, like and dislik, dan seterusnya.

“Dapat dibayangkan, beberapa indikator yang digunakan justru menunjukkan betapa rendahnya nilai integritas pemerintahan. Akar dari integritas adalah menyangkut karakter, mindset, dan tindakan. Jadi agak susah jika sudah menyangkut dengan karakter, kalau perilakunya memang koruptif, maka akan sulit untuk melakukan perbaikan secara total, kecuali yang benar-benar menguntungkan dan memenuhi kepentingan pribadi pemangku kebijakan,” ujar Igrissa.

Begitu pun dengan masalah penyalahgunaan jabatan, sudah menjadi rahasia umum di Pemkab Halsel, bahwa praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme relatif masif. Karena itu, sangat dimungkinkan pihak-pihak yang diduga melakukannya harus mendapat sanksi pidana.

Di sisi lain, harus dipotret dengan gambaran yang berbeda bahwa dari keseluruhan indikator dalam SPI, merosotnya nilai-nilai integritas dalam tata kelola pemerintahan tidak menunjukkan adanya kehati-hatian. Kehendak untuk menciptakan tata kelola yang bersih tidak maksimal.

“Besar kemungkinan dari skor di bawah 70 menunjukkan kinerja Pemkab Halsel enggak jiper dengan masalah hukum yang akan menjerat. Faktanya relatif banyak dugaan skandal penyimpangan keuangan negara yang tidak sedikit besarannya, bahkan prosesnya terkatung-katung di tangan APH,” kata dia.

“Misalnya, dugaan penyalahgunaan anggaran terkait proyek pembangunan masjid raya, kasus BPRS yang diduga melibatkan Bupati Halsel Bassam Kasuba, dugaan kasus pembangunan Rumah Sakit Pratama Pulau Makian, dan sejumlah dugaan skandal korupsi lainnya,” ujar Igrissa.

Ia menambahkan, dari gambaran tersebut menunjukkan Bupati Bassam Kasuba hingga selesai masa kepemimpinan terbilang amburadul. Nilai-nilai integritas di setiap instansi pun merosot. Sosialisasi antikorupsi untuk mencegah praktik penyalahgunaan jabatan dan penyimpangan anggaran sangat minim. “Karena itu, hasil SPI menunjukkan Pemkab Halsel tidak memiliki kecukupan kompetensi, ketidakcukupan akuntabilitas, transparansi, dan profesionalitas,” ujarnya.

Tanpa Sepengetahuan DPRD

Salah satu contoh kasus buruknya tata kelola pemerintahan di Halmahera Selatan adalah terkait dengan penambahan anggaran Rp 10 miliar untuk pembangunan sekolah ala Rusia.  Bayangkan saja, penambahan anggaran Rp 10 miliar pada 2024 untuk pembangunan sekolah unggulan ala Rusia, ternyata tidak diketahui anggota DPRD. Bahkan wakil rakyat yang tergabung dalam badan anggaran (Banggar) juga tidak tahu penambahan dana sebesar itu.

Anggota dewan baru tahu soal penambahan anggaran tersebut melalui media massa baru-baru ini. Ketua Komisi III DPRD Halmahera Selatan, Safri Talib kelihatannya tidak habis pikir atas tingkah Tim Anggaran Pemerintah Daerah (TAPD). Ia mempertanyakan mekanisme apa yang dilalui Pemkab sehingga bisa melakukan penambahan anggaran. “Kok tiba-tiba sudah ada penambahan. Patut kami pertanyakan sumber anggarannya dan prosedur seperti apa. Apalagi ini anggaran yang cukup besar,” ujarnya menyesalkan, Kamis (30/1).

Menurut Safri, Banggar dan TAPD telah bersepakat, pembangunan sekolah ala Rusia dilakukan tahun 2023-2024 dengan total anggaran Rp 34 miliar. “Kami sudah bahas dalam rapat Banggar bahwa anggaran Rp 34 miliar itu sudah sampai tuntas pembangunannya. Jadi sekolah ala Rusia ini untuk peningkatan kualitas pendidikan,” tuturnya.

Sementara terkait dengan hasil audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) atas penggunaan Rp 34 miliar tersebut yang diduga bermasalah, Safri mengaku belum mendapat informasi jelas. Ia baru tahu menyangkut hasil audit kinerja seluruh SKPD soal standar pelayanan minimum. “Kalau soal temuan atau hasil audit keuangan anggaran sekolah ala Rusia, itu saya belum cek,” tutupnya. (tim)