Tivanusantara– Publik layak geleng-geleng kepala menyikapi tingkah buruk Penjabat Sekretaris Daerah (Sekda) Maluku Utara, Abubakar Abdullah, yang diduga terlibat politik praktis. Ulahnya yang membagikan foto salah satu pasangan calon gubernur dan calon wakil gubernur ke grup WhatsApp IKA PMII, terus disorot.

Respons kali ini datang dari Direktur Indonesia Anti Curroption Network (IACN), Igrissa Majid. Menurutnya, Pasal 71 ayat (1) Undang-undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada mengatur jelas larangan bagi pejabat daerah membuat keputusan atau tindakan yang dapat menguntungkan atau merugikan salah satu paslon. “Pasal 71 ayat (1) harus dibaca secara utuh, karena di situ memuat unsur adanya pejabat daerah,” ujarnya, Senin (25/11/2024).

Pada Pasal 71 ayat (1) terdapat unsur keputusan dan/atau tindakan. Dua kata ini digunakan untuk mengatakan sesuatu yang sifatnya kumulatif atau alternatif, yang secara hukum memiliki makna yang pasti untuk menyatakan pilihan antara salah satu proposisi atau dua proposisi secara bersamaan

“Kata ajakan memang tidak terdapat dalam pasal berikut ayat yang dimaksud, tetapi tindakan Abubakar dapat kita duga telah merugikan pihak lain, yang di dalam pasal tersebut tercantum secara eksplisit,” papar alumni STHI Jentera ini.

Lanjut Igrissa, tindakan Abubakar tidak bisa langsung dibuat kesimpulan oleh siapapun, karena belum masuk pada ranah formil berdasarkan pengkajian yang matang oleh pihak yang berwenang. “Karena itu, interpretasi JPPR yang mengatakan bahwa saudara Abubakar tidak memenuhi unsur pelanggaran pemilu karena hanya menyebarkan gambar di grup WhatsApp, bukan di media sosial berupa FB, X, Instagram, dan Tiktok, terbilang keliru. Sebab WhatsApp sendiri merupakan salah satu platform media sosial,” tukasnya.

Igrissa menjabarkan, WhatsApp termasuk dalam media sosial sebab merupakan aplikasi yang di dalamnya berlangsung saling tukar informasi, menjadi alat komunikasi, berbagi foto, video, dokumen, dan lain-lain. “JPPR harus memahami bahwa media sosial itu platform digital guna menghubungkan satu sama lain untuk berinteraksi, berbagi, dan banyak aktivitas lainnya. Jadi WhatsApp dianggap bukan media sosial justru sangat keliru,” bebernya.

Jika menggunakan sandaran metode interpretasi hukum, kata Igrissa, maka kesimpulan JPPR benar-benar keliru, baik itu secara gramatikal, otentik, sistematis, restriktif maupun ekstensif. “Kalau kita mengartikan secara otentik sebagaimana ketentuan dalam pasal yang dimaksud memang tidak terdapat kata ajakan, melainkan larangan. Dan tujuan larangan itu salah satunya dialamatkan kepada pejabat daerah yang atas perbuatan dapat menguntungkan dan merugikan salah satu calon,” tegasnya.

“Jika menggunakan argumentum a contrario, maka muncul pertanyaan saudara Abubakar sebagai pejabat daerah telah mengambil keputusan dan/atau bertindak untuk menyebarkan gambar salah satu paslon tetapi tidak mengajak, apakah keputusan dan/atau tindakan saudara Abubakar tidak melanggar larangan? Simpel, bukan?” imbuh Igrissa.

Ia menambahkan, yang harus dilihat adalah tindakan Abubakar, bukan terdapat adanya ucapan untuk mengajak atau tidak. Menurut Igrissa, penyebaran gambar salah satu paslon termasuk dalam tindakan, kemudian tindakan itu merugikan, dan itu dilarang dalam Pasal 71 ayat (1).

“Tetapi saya tidak ingin melampaui pihak yang berwenang dan terburu-buru membuat kesimpulan. Silakan pihak berwenang tindaklanjuti, kita lihat bagaimana hasilnya nanti. Harapan kita, proses demokrasi berlangsung jujur dan adil,” tandasnya. (tan)