Oleh: Jasin Ibrahim
Mahasiswa Prodi Pendidikan Agama Islam IAIN Ternate

_____

MENGENAI dengan sejarah Desa Sambiki, Kecamatan Obi, Kabupaten Halmahera Selatan, Provinsi Maluku Utara, sebenarnya belum diketahui jelas oleh pemerintah desa maupun para tokoh-tokoh yang ada di Desa Sambiki. Hal tersebut disebabkan karena orang-orang tua terdahulu atau para pelopor terbentuknya Desa Sambiki ini sudah tiada. Para pemerintah desa pun mulai menyusun sejarah Desa Sambiki dalam bentuk dokumen baru dilaksanakan pada tahun 2014 setelah pemerintah desa mendapatkan dana desa, sehingga data yang mereka dapatkan terkait sejarah Desa Sambiki ini belumlah secara menyeluruh. Pada saat itu para pemerintah desa mulai mencari sumbernya pada salah satu tokoh yang masih hidup, yaitu Majkur Hayan, anak dari Hayan Kuilo yang merupakan kepala kampung. Masyarakat setempat biasa memanggilnya dengan sebutan Tete Komputer. Ia menceritakan sejarah Desa Sambiki yang mula-mulanya dikenal sebagai ‘Kampung Rica’.

Konon, menurut cerita penduduk Kampung Rica ini, penduduknya berasal dari berbagai suku, di antaranya adalah Suku Tobelo, Galela, Loloda dan sebagian lagi berasal dari Makayoa, Bacan dan Ternate. Dari berbagai suku tersebut belum diketahui dengan jelas suku mana yang pertama masuk di Kampung Rica ini. Yang jelas, pada saat itu Kampung Rica sudah mulai dihuni kurang lebih pada tahun 1910 s/d 1925, yang dipimpin oleh Buria dengan jabatan Mahimo.  Kemudian dari Mahimo berubah menjadi kepala kampung, setelah itu berubah lagi menjadi kepala desa hingga saat ini. Secara struktur pemerintahan Desa Sambiki, kepala desa yang pernah memimpin Desa Sambiki dari tahun ke tahun termuat pada tabel berikut ini:

No Nama Kades/Jabatan Jabatan Masa Jabatan Keterangan
1 Buria Mahimo 1915-1928 Almarhum
2 Hayan Kuilo Kepala Kampung 1928-1935 Almarhum
3 Bakari Kepala Kampung 1935-1946 Almarhum
4 Jumati HI. Kuda Kepala Kampung 1946-1960 Almarhum
5 Adam Adjam Kepala Kampung 1960-1969 Almarhum
6 Sudarno Atmodjo Kepala Kampung 1969-1973 Almarhum
7 Hanidi Lamanaja Kepala Kampung 1973-1976 Almarhum
8 A. Salam Lajali Kepala Kampung 1976-1981 Almarhum
9 AR. Sehe Kepala Kampung 1981-1984 Almarhum
10 Haji Sanusi

HJ. Abd. Halim

KADES 1984-1992 Almarhum
11 Darwin M. Sangaji KADES 1992-2005 Masih Hidup
12 Haerudin Wahid KADES 2005-2011 Masih Hidup
13 Haerudin Wahid KADES 2011-2017 Masih Aktif
14 Haerudin Wahid KADES 2017-2025 Masih Aktif

 

Menurut data yang didapatkan, bahwa sebelum Desa Sambiki ini menjadi sebuah perkampungan, pada mulanya sudah dihuni oleh orang-orang yang datang dari tempat yang berbeda dengan tujuan untuk berkebun. Orang-orang tersebut berasal dari Suku Loloda, suku tersebut datang untuk melakukan kegiatan perkebunan yang berlokasi di SMP Negeri Peduli Bangsa Anggai Sambiki. Lokasi tersebut sekarang dinamakan sebagai Dusun Rica. Namun, perlu untuk digarisbawahi, bahwa bukan berarti Suku Loloda yang pertama kali sampai di Desa Sambiki. Menurut cerita dari sekretaris desa, suku pertama yang menduduki kawasan tersebut berasal dari Suku Tobelo pada saat zaman penjajahan Belanda dan kemudian disusul dengan suku-suku yang lain, seperti Loloda, Buton, Galela, Makayoa, Bacan, Ternate dan lain-lain.

Dengan bertambahnya masyarakat yang mulai berdatangan di tempat tersebut, akhirnya diputuskan untuk memperluas wilayah ke arah barat sampai terbentuklah sebuah perkampungan yang dinamakan sebagai Sambiki (Labu). Menurut cerita dari masyarakat setempat, alasan mereka menamakan kampung tersebut dengan buah labu, karena pada saat mereka sampai, pertama kali yang mereka lihat adalah buah labu dan konon buah tersebut sangatlah banyak.

Pada tahun 1915 masyarakat setempat mulai membentuk sebuah kepala kampung yang pada waktu itu masih disebut sebagai Mahimo. Kata Mahimo sendiri berasal dari bahasa Buton yang dimaknai sebagai pemimpin yang mengawasi suatu desa. Orang pertama yang menjabat sebagai Mahimo adalah Buria, ia menjabat sebagai Mahimo selama 13 tahun. Dan pada tahun 1928 sebutan Mahimo kemudian dialihkan menjadi Kepala Kampung sampai pada tahun 1984 barulah dialihkan menjadi Kepala Desa hingga saat ini.

Pada tahun 1935 bangsa Jepang mulai memasuki Desa Sambiki untuk melakukan kerja paksa (Romusha), pada saat itu Desa Sambiki masih dipimpin oleh Bakari. Namun tak lama kemudian ia menyerahkan jabatannya kepada menantunya Din Hayan, disebabkan ia tidak mampu menghadapi bangsa Jepang yang ingin melakukan kerja paksa (Romusha). Namun nama menantunya tidak terdaftar dalam pemimpin kampung tersebut. Dengan kadatangan bangsa penjajah ini, masyarakat setempat dikumpulkan dan dipaksa pergi ke Ambon untuk menjalankan misi Romusha, dan wanita-wanita kala itu berbondong-bondong mendatangi rumah kepala kampung untuk melindungi diri dari godaan bangsa Jepang dengan mengaku sebagai istri kepala kampung. Selain itu juga wanita-wanita kala itu menggosok wajahnya dengan arang agar bangsa Jepang tidak menyukai mereka.

Pada saat bangsa Jepang memasuki rumah kepala kampung dan terdapat banyak wanita di dalamnya, bangsa Jepang menanyakan siapa wanita-wanita tersebut dengan bahasa melayu. Kepala kampung kemudian menjawab, mereka merupakan istri-istrinya, jawaban tersebut membuat bangsa Jepang takjub dan tidak berani untuk mengganggu mereka. Itulah salah satu keberanian yang dilakukan oleh Din Hayan saat menghadapi bangsa sekutu. Dengan perjuangan serta pengorbanan begitu besar yang dilakukan oleh pemimpin-pemimpin kala itu, akhirnya mereka mampu membentuk sebuah desa yang diberi nama Sambiki dengan jumlah penduduk yang sangat banyak.

Secara administratif jumlah penduduk saat ini mencapai 2.425 jiwa, dengan luas wilayah Desa Sambiki secara geografis mencapai 5920 km. Lahan tersebut diperuntukan untuk fasilitas umum, pemukiman, perkebunan, pertanian, kegiatan ekonomi dan lain-lain, yang terdiri dari 4 km. Untuk pemukiman, 2 km, untuk fasilitas umum dan ekonomi 1.900 km, untuk perkebunan, 1942 km, untuk pertanian 2.071 km.

Peta Desa Sambiki

Wilayah Desa Sambiki sendiri memiliki 4 dusun. Dengan kondisi topografi demikian, Desa Sambiki memiliki variasi ketinggian antara 1 m sampai 70 m dari permukaan laut. Daerah pesisir pantai merupakan daerah daratan rendah. Desa Sambiki sendiri mayoritas beragama Islam dan tidak memiliki bahasa daerah tersendiri. Hal tersebut disebabkan masyarakat setempat berasal dari suku yang berbeda-beda. Dari perbedaan itulah sehingga masyarakat Desa Sambiki terjalin hubungan akulturasi dengan baik. (*)