Oleh: Basri Amin
Lembaga Kajian Sekolah & Masyarakat -LekSEMA
BELUM banyak yang tahu bahwa Bung Karno punya gelar yang unik, yakni “Nahkoda Agung”. Gelar itu disematkan kepadanya ketika Musyawarah Nasional Maritim – I. Dengan itulah pula Soekarno menegaskan Indonesia sebagai “Bangsa Samudera”. “Kembalilah menjadi Bangsa Samudera!”, demikian judul amanah Presiden Ir. Soekarno pada 23 September 1963 diTugu Tani, Jakarta.
Pada 1973, terbitlah Penelitian Laut Indonesia oleh Lembaga Penelitian Laut LIPI. Dihasilkan dari ekspedisi di Laut Maluku tahun 1970. Puluhan tahun sebelumnya, tahun 1959, lembaga ini sukses meneliti laut Kalimantan. Di tahun 1973, Kolonel Laut (P) L. Iskandar menuliskan kajian ilmiahnya yang serius, “Jiwa Bahari sebagai Warisan Nenek Moyang Bangsa Indonesia” (Disjar TNI-AL – Biro Sejarah Maritim), setebal 193 halaman.
Sekian tahun setelah itu, Prof. Mochtar Kusumaatmadja menerbitkan ceramah ilmiahnya di Gedung Kebangkitan Nasional Jakarta, berjudul “Konsepsi Hukum Negara Nusantara: Konferensi Hukum Laut ke-III” (12 Februari 1977). Oleh TNI AL, sejak 1980an diterbitkan “Pustaka Bahari” yang merangkum sejarah ALRI sejak 1945.
Saya terpukau menyimak naskah-naskah yang sangat kaya dari khazanah maritim kita. Diterbitkan oleh Perpustakaan Nasional, R.I (2019), disunting oleh Yeri Nurita dan Anes Asrullah dengan 24 penulis naskah yang mencakup naskah nusantara, buku-buku langka dan surat kabar langka. Tebalnya 550 halaman. Salah satu kesuksesan karya ini adalah kemampuannya dalam memilih dan mengemas “informasi”, antara lain misalnya dengan merujuk pemberitaan Kompas, edisi 10 Februari 1981 yang berjudul: Upaya Meninggalkan “Kebudayaan Sungai.”
Saya rasa, kembaran buku besar ini adalah Koleksi Perkebunan dan Tanaman Pangan (2020). Tebalnya 610 halaman dengan cakupan yang amat kaya tentang Nusantara. Diperkaya dengan rujukan dari majalah dan foto-foto langka. Disusun oleh 22 penulis naskah.
Khazanah (pengetahuan) maritim kita punya jejak yang unik. Cakupannya begitu luas di alam nyata dan bentangannya demikian panjang di alam (sejarah) Nusantara dan dunia. Dan, yang paling istimewa adalah karena pelembagaan pengetahuan itu dalam skala nasional justru diawali inisiatif besarnya oleh Departemen Maritim Indonesia. Adalah melalui pandangan hebat dari Laksamana Muda Laut Suwandi, bersama-sama dengan Departemen Penerangan dan Kepolisian, pada hari Rabu 25 Agustus 1966, berdirilah “Yayasan Perpustakaan Nasional” untuk pertama kalinya di Indonesia (Harian AB, 25-8-1966, collected by Atikah, 2024).
Laksamana Muda Laut Suwandi, Sekretaris Jenderal Departeman Maritim, menjelaskan tentang sentralnya peran Perpustakaan sebagai “alat membina watak dan jiwa bangsa…Bahwa watak, dan jiwa, serta nasib dan jalannya kehidupan suatu bangsa ditentukan oleh ‘sense of geopolitical destiny..’, yaitu kesadaran masyarakat akan letak dan susunan geografi tanah-airnya….Perpustakaan dalam bidang maritim adalah menanamkan kesadaran rakyat akan ke-bahari-annya….3/4 luas wilayah Indonesia adalah maritim dan berada di persimpangan dua benua dan dua samudera besar.
JIKA negeri ini butuh (lagi) sebuah Kebangkitan Nasional di abad ke-21 ini, maka harapan itu meniscayakan karakter kepemimpinan baru: “pemimpin perahu!”. Karena perahu besar itu bernama Indonesia.
Karakter pokok “pemimpin perahu” adalah wujud kepemimpinan yang “tidak ditentukan dari atas…” Ia harus benar-benar teruji kemampuannya seiring waktu mengingat resiko yang dihadapi demikian besar. Ia juga harus sangat adaptif dan bersedia mengoreksi setiap keputusan di waktu yang tepat, tanpa bimbang dan berunding lama-lama –karena gelombang dan topan berubah dan datang setiap saat–.
Ia juga harus berpengalaman membaca tanda-tanda musim/alam dan kondisi/kapasitas awak-anak buahnya. Inilah fondasi utama bagi lahirnya etos “Kapitan Perahu” dalam berkepemimpinan di Nusantara (Kleden, 2001:46-47).
Prinsip tanggung jawab dan “sumpah Jabatan” amatlah utama. Dalam kondisi bahaya, pegangannya adalah: “ia tetap setia berada di perahunya sampai penumpang dan awak perahunya yang terakhir telah beroleh kesempatan menyelamatkan diri…”
Kepemimpinan “perahu” terbukti sukses melahirkan narasi besar negeri ini. Jaringan niaga di Kawasan Timur Indonesia adalah bagian dari simpul-simpul perubahan besar yang menghubungkan Asia Tenggara dan Eropa di satu sisi, sementara kelompok niaga yang lain yang berasal dari China, Arab, dan India di sisi lain juga melangsungkan hubungan-hubungan intensif dengan kerajaan-kerajaan utama di Nusantara sejak abad ke-17, bahkan jaringan niaga itu sudah terjadi berabad-abad sebelumnya di beberapa kota pelabuhan di Nusantara (Hall, 1975; Reid, 1992; Clarence-Smith, 1998; Amal, 2002; Wirawan, 2013).
Ketika Belanda berkuasa, kontrol terhadap niaga laut membesar. Perhatian pemerintah kolonial di kawasan Teluk Tomini misalnya makin terlihat sejak tahun 1893. Pengawasan dilangsungkan lebih intensif. Ini berlaku sejak dari Moutong sampai di Tojo. Sejumlah penguasaan usaha-usaha dagang dilakukan untuk mengontrol sirkulasi komoditi di kawasan ini.
Secara internal, sejumlah kerajaan kecil di Teluk Tomini kemudian membentuk “federasi” di mana posisi Moutong menjadi pusatnya. Di masa itu, posisi penguasaan pelaut-peniaga Mandar sangat fenomenal di Teluk Tomini. Mereka bahkan mempunyai koloni sendiri yang cukup luas. Karena itulah maka di tahun yang sama (1893), didirkan pula pos pengawas (polisi) yang ditempatkan di Parigi (DeKlreck, 1975: 460).
Mari merenung!
Sebagai negeri maritim yang besar, Indonesia kita memang akan selamanya diuji di samudera. Teknologi (bidang) kelautan dan dirgantara adalah jawaban masa depan, baik untuk kepentingan ekonomi, energi, keamanan, mobilitas penduduk, edukasi/informasi, dan daya dukung ekosistem. Di sisi ini, kita tentu masih wajar untuk bertanya, butuhkan Indonesia punya “kapal perang” yang banyak, termasuk sejumlah kapal selam?.
Logika (nasionalistik) abad ke-20 berupa kedaulatan teritorial dan perlindungan tanah air Indonesia memang merupakan acuan utama mengapa kita mesti tangguh dalam urusan perlengkapan perang dan kekuatan maritim penopang ekonomi demi kesejahteraan bangsa.
Ekonomi dunia sebenarnya sangat tergantung dengan jalur laut. Untuk kasus Laut China Selatan misalnya, sekitar sepertiga perdagangan dunia tergantung kepada kawasan ini. Tidak kurang dari 5 trilyun dollar bergerak secara finansial melalui kawasan tersebut. Belum lagi dengan potensi alam lainnya (gas, minyak, dst), termasuk 12 persen (potensi tangkapan) ikan yang menyuplai kebutuhan dunia (Denyer & Rauhala, 2016).
Konflik sangatlah besar potensinya di sektor kelautan, termasuk menyangkut batas-batas antar negara. Kita tahu bagaimana konflik perbatasan laut terjadi puluhan tahun terakhir ini, di mana Indonesia tak bisa menghindarkan diri darinya. Kasusnya pun cenderung berulang.
Amerika memang memberi contoh sebagai negara super-powerkarena kekuatan militer (laut)-nya. Tapi, itu juga adalah proses sejarah yang panjang. Di masa Perang Dingin (1947-1991), terutama karena ketegangan (penggunaan) nuklir, khususnya antara USA dan USSR sejak 1960an, hingga kini tampaknya masih berdampak atas hubungan antar negara, terutama dalam urusan persenjataan dan armada laut.
Stabilitas kita di Asia Tenggara pun tak bisa lepas dari kekuatan militer –yang tensinya tidak pernah stabil. Apa yang secara berulang ditunjukkan dengan kekuatan laut RRT di “Laut China Selatan” misalnya, telah menyenggol beberapa negara di Asia Tenggara di forum internasional, terutama Filipina. Indonesia berperan aktif di dalamnya, termasuk penggunaan istilah yang tepat/netral untuk kawasan laut tersebut (Denyer & Rauhala, 2016).
Dilihat dari sisi hari ini, khazanah maritim kita dan dimensi-dimensinya yang kaya makin butuh perhatian pengetahuan dan tindakan nyata. (*)
Tinggalkan Balasan