Oleh: Basri Amin
Parner di Voice-of-HaleHepu

KAMPUS ‘besar’ itu menggerakkan gagasan besar. Kampus ‘kecil’ itu membesar-besarkan hal-hal kecil. Kampus besar itu kokoh dengan pemikir-pemikir hebat. Kampus kecil itu sibuk membuat acara untuk para pejabat. Kampus besar itu berkibar namanya karena temuan-temuan besarnya. Kampus kecil itu terpukau dengan kasta-kasta gelar dan posisi pangkat.

Kampus besar itu merayakan ilmu di ruang-ruang kelas dan di perjumpaan-perjumpaan dengan mahasiswa. Kampus kecil itu menumpangi prestasi dan daya cipta mahasiswanya. Kampus besar bergerak dengan jiwa para pencari kebenaran dan pembela cita-cita. Kampus kecil itu hari-harinya membangun jiwa kawanan yang membela kepentingan dan pencitraan.

Kampus kecil itu bergumul dengan administrasi. Kampus besar itu mengurus aspirasi. Kampus besar itu tradisinya adalah pertukaran pemikiran yang intens. Kampus kecil itu tabiatnya adalah pengaturan kemapanan.

Kampus besar kuat karena jaringan. Kampus kecil memperbanyak jargon.

Gambaran di atas saya peroleh dari seorang sahabat lama yang kini memilih bekerja di sebuah “kampus besar” di negeri ini. Ia pernah belajar di banyak tempat, tapi memilih menjadi ilmuan murni. Ia tak banyak tampil di publik, juga sangat jarang nongol di media sosial. Dia bercerita, di kampusnya, jumlah baliho mahasiswa dan forum akademis selalu tampak di mana-mana. Wajah pejabat kampus alakadarnya saja ditampilkan. Birokrasi kampus tidak boros dan berlebihan dan tak mengenal kata harus tampil di setiap publikasi. Tak ada personalisasi!

Sahabat ini tegaskan, bahwa di kampusnya, yang terbentuk sekian lama adalah ‘ilmu-sentrik” bukan kepada “penguasa-sentrik…”.

Kampus adalah pemeliharaan dan penegak ruhani peradaban kemanusiaan. Kampus adalah pembela terdepan bagi apirasi generasi dan penegak paling gigih bagi keadilan universal dan hak-hak berkemajuan dan kesejahteraan semua orang.

Di mana pun sebuah kampus berdiri, di sanalah kemerdekaan untuk semua harapan kemajuan dan resolusi perbaikan dipelajari, bicarakan, dikerjakan dan diuji dengan terbuka setiap waktu dan oleh civitas-nya. Mentalitasnya adalah bertanya dan mempertanyakan!

Demokrasi bukanlah tema terbesar yang selamanya dan mutlak dikerjakan oleh warga universitas, melainkan “pencarian” dan pengujian bagi setiap kebenaran yang relevan dan substantif bagi kemanusiaan, pemajuan pengetahuan, dan perbaikan kehidupan.

Hak belajar, kewajiban mengajarkan, dan mengujikan subject mattertertentu –-dengan otoritas, proses, dan tanggung jawab tertentu–, adalah tugas utama universitas. Dengan itulah, masyarakat dan sebuah bangsa menerima buah-buah pengetahuan dan jalan-jalan keluar atas setiap kebuntuan masalahnya.

Belakangan ini, politik nasional dan pergumulan Pemilu 2024 ––polemik etis, kapasitas penyelenggara, dan kredibilitas hasilnya— demikian luas beroleh tanggapan dari kampus-kampus (terdepan) di negeri ini. Hampir semua tokoh bangsa yang kita tahu kenegarawanan dan komitmen besarnya selama ini telah memilih posisi yang sangat keras mengoreksi tabiat politik Indonesia belakangan ini. Presiden Jokowi benar-benar dihadapkan dengan pilihan dan pertaruhan yang sulit.

Dipandang dari kacamata sejarah politik bangsa kita dan visi demokrasi Indonesia modern, posisi Presiden Jokowi tak punya pilihan lain selain “memilih” caranya sendiri dalam menempatkan dirinya dalam sejarah kita. Soal legasi Jokowi, “sejarah sudah punya jawaban!” Yang jelas, tak ada yang menjamin bahwa presidensi beliau akan berakhir dengan sesuatu yang membanggakan. Tentu, kita tak pernah berharap bahwa sekian tahun beliau menjadi Presiden Indonesia hanya akan ditakar dengan kata-kata sederhana: terima kasih!

Penilaian publik kini demikian meluas, dan tentulah sangat wajar dan mendesak karena tiga kaidah dasar demokrasi di Indonesia sedang guncang: legitimasi hukum, kejujuran, dan kapasitas pemerintahan. Di luar itu, publik, civil society, dan kalangan terpelajar telah mengambil posisi bahwa ada pengabaian etika politik dan adab berkekuasaan yang dilangkahi secara nyata dan terpola.

Dalam perkara moralitas, suara-suara kampus memang nyaring dan bertaring keabadiannya, kendati di dalam dirinya sendiri (baca: kampus) tidak sedikit persoalan yang melilit mereka. Dilemanya pun tak berkurang (baca laporan majalah Tempo dan Kompas lima tahun terakhir ini: plagiasi, korupsi, pelecehan seksual, transaksi jabatan, mutu akademis, birokratisasi, sindikasi gelar dan publikasi, budaya amplop, bayar-membayar, komersialisasi, nepotisme, dst).

Sejarah pergolakan di kampus, salah satu contoh terbaiknya adalah Universitas Indonesia (UI). Dengan sangat hebat kampus ini bisa menegakkan identitas akademisnya sebagaimana bisa kita baca dalam buku tebal (861 halaman), Membangun di Atas Puing Integritas: Belajar dari Universitas Indonesia (Sarumpaet, dkk, 2012).

Tarikan nilai-nilai akademis dan kebebasan yang otonom mendayagunakan kaidah-kaidah keilmuan akan selamanya melandasi dan mengarahkan kerja-kerja akademia di mana pun itu, terkecuali di beberapa tempat yang otoritarian di dunia. Kalangan intelegensia, di banyak tempat dan di sejumlah pertaruhan sejarah, mereka bahkan rela menjadi martir bagi kebebasan dan keyakinannya: menjadi revolusioner (Brym, 1993). Lebih jauh dari itu, agar terhindar dari “penghianatan intelektual”, Julien Benda (1867-1956), pemikir Perancis, menukil ungkapan Maurras, bahwa “pikiran yang kritis hanya mempunyai nilai karena perbuatan yang dilakukannya berdasarkan penjelasan yang diberikannya (Benda, 1997: 182).

Di kampus, tempaan dan tuntutan “membaca keadaan” yang melampaui banyak batas dan menalari setiap kesimpulan dan pilihan-pilihan selalu dikerjakan dengan kegairahan yang menyala. Nilai-nilai “menemukan” yang terbaik di antara yang serba-mungkin, menguji berulang dan melihat secara berulang berbagai sumber dan rujukan pengetahuan, tak hanya handal dengan mata dan pemikiran sendiri, tetapi sejauh mungkin dicermati dan didalami oleh kekolegaan yang objektif dan multi-perspektif. Itulah yang dilembagakan pembinaannya di kampus-kampus. Melalui itulah pula, besar dan kecilnya atau maju tidaknya sebuah kampus, ditakar dengan parameter tersebut.

Keberanian mengutarakan klaim kebenaran dan ketaatan kepada standar etika tertinggi dalam bermasyarakat dan bernegara di Indonesia hari-hari ini semakin lantang di kampus-kampus. Fakta-fakta Pemilu 2024 adalah pemicunya. Bermula dari bahasa harapan dan pandangan, kemudian bergeser kapada perdebatan-perdebatan akademis yang penuh dengan istilah dan kategori dalam khazanah demokrasi. Saat ini kampus-kampus sudah mengubah bahasanya, yakni menggugat dan menuntut tanggung jawab.

Garis antara pandangan akademis dan sikap politis menjadi semakin tebal dan membesar. Kita masih menunggu jalan sejarah yang akan dipilih oleh negeri ini: berjalannya hukum atau hukum jalanan. Bagi warga kampus, kedua pilihan itu punyak rujukan sejarah, di tahun “Reformasi 1998”, dan jauh sebelumnya lagi pada “Malari 1974” dan “Tritura 1966”. Ketiganya masih berjejak akarnya di republik ini. (*)