Oleh: Igrissa Majid
(Founder Indonesia Anti-Corruption Network)
Geger, KPK senyap melakukan Operasi Tangkap Tangan (OTT) terhadap Gubernur Maluku Utara (Malut), Abdul Gani Kasuba, dan beberapa pejabat Pemprov lainnya. Dilansir dari beberapa media daring, OTT itu menyangkut skandal jual beli jabatan, dan proyek pengadaan barang dan jasa. Informasi ini setidaknya memuaskan sebagian publik. Selain puas, akan semakin menggembirakan kalau KPK juga menunjukan totalitasnya terhadap skandal korupsi di lingkungan kekuasaan legislatif, baik di tingkat provinsi maupun kabupaten/kota di Malut, sehingga tidak menimbulkan kesan sekat pemberantasan korupsi.
Operasi Tangkap Tangan
Meskipun demikian, kasus OTT terhadap Gubernur Malut dan beberapa kroninya patut diapresiasi. Kini mereka resmi ditetapkan sebagai tersangka dan dijerat pasal suap dan gratifikasi. Dalam proses hukum lanjutan, besar kemungkinan ada pengembangan kasus yang mengarah pada kerugian negara, karena atas penyalahgunaan anggaran untuk menguntungkan diri sendiri.
Dalam perkara OTT, menurut EOS Hiariej (2017), para pelaku tentunya akan lebih mudah dibuktikan. Pertama, proses OTT sudah tentu didahului dengan rangkaian penyadapan, yang kemudian dapat menjadi bukti permulaan terjadinya suatu tindak pidana. Kedua, mengacu pada Pasal 12 Undang-Undang No 30/2022 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, wewenang penyadapan sudah dilakukan pada tahap penyelidikan untuk menentukan ada tidaknya tindak pidana.
Ketiga, terjadinya OTT adalah untuk mempertegas sekaligus menyatakan secara jelas terhadap rangkaian penyadapan yang telah dilakukan sebelumnya, sehingga dapat diproses secara pidana dengan syarat telah mengantongi minimal dua alat bukti. Keempat, besar kemungkinan seorang pejabat yang turut ditangkap pada saat OTT, ternyata tidak atau belum terdapat barang bukti sebagai objek suap di tangan orang tersebut, maka tindak pidana itu belum selesai, atau masih dalam tahap percobaan.
Poin ketiga ini mengkonfirmasi bahwa, belum tentu ada uang sebagai objek suap atau barang bukti yang telah diberikan kepada pejabat saat ditangkap. Akan tetapi dalam dimensi tindak pidana korupsi, percobaan sama dengan perbuatan tindak pidana yang telah selesai. Jadi meski masih dalam tahap percobaan tapi tetap dinyatakan tertangkap tangan. Dimensi tindak pidana percobaan tetap beralaskan pada doktrin umum hukum pidana yang keberlakuannya bersifat universal.
Adapun ulasan mengenai tindak pidana percobaan memang akan lebih luas, tetapi konteks OTT sebagaimana dalam kasus Abdul Gani Kasuba, kenyataannya menerima suap senilai Rp 2,2 miliar untuk kepentingan pribadi. Karena itu fokus kita adalah kelanjutan masalah OTT ini tidak berakhir mengecewakan publik. Proses penegakan hukum harus tuntas dan para pelaku mendapatkan hukuman sesuai perbuatannya. Hukum tetap ditegakkan tanpa tebang pilih.
Pemberantasan Tebang Pilih
Ambil contoh di daerah lain, KPK justru tidak tebang pilih, banyak anggota DPRD, kepala daerah, maupun pejabat lainnya yang akhirnya bertekuk di bawah jeratan hukum. Buktinya, sejak Januari hingga Oktober 2023, KPK telah menangani 54 kasus di beberapa daerah seperti pulau Jawa, Kepulauan Nusa Tenggara, Sumatra, Papua, Sulawesi, Maluku, dan Kalimantan (Katadata.id, 2023). Sayangnya dari jumlah tersebut, justru kasus-kasus korupsi di Malut belum menjadi incaran KPK.
Tidak tebang pilih bukan dalam pemaknaan semua harus ditindak baik skala kecil maupun besar, tetapi dalam aspek yuridis pelaksanaan tugas KPK tetap berpijak pada Pasal 11 Ayat 1 huruf b UU 19/2019 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yakni menyangkut kerugian yang mencapai nilai Rp 1 miliar. Sedangkan dalam konteks suap, memang tidak ditakar dengan angka atau nilai penyuapan, sebab suap atau penyuapan lebih pada delik jabatan, karena menyangkut pemberian sesuatu yang bernilai ekonomi atau janji yang relevan dengan jabatan seseorang (Mahrus Ali & Deny Setya Bagus Yuherawan, 2020).
Dalam konteks Malut, agar tidak memunculkan kesan tebang pilih dalam pemberantasan korupsi, maka KPK juga harus melakukan penindakan yang lebih maksimal. Pertama, KPK perlu melihat sarang korupsi itu tidak hanya di kalangan eksekutif, melainkan juga dalam kekuasaan legislatif. Kedua, KPK harus melakukan in-depth investigation terhadap para penyelenggara negara yang berkompeten dalam dua cabang kekuasaan tersebut, karena mereka adalah top player yang paling lihai mengutak-atik anggaran untuk menguntungkan diri sendiri.
Ketiga, KPK harus melihat ini adalah tahun politik semuanya hendak menjadi safety player hingga setelah masa pemilu 2024. Terakhir, KPK harus me-refer pada LHKPN para pejabat baik di lingkungan eksekutif maupun legislatif sebagai pintu masuk untuk mengungkapkan, apakah harta kekayaan yang diperoleh wajar secara hukum atau tidak.
Salah satu contoh dari kalangan legislatif, Ketua DPRD Malut sebagaimana dilansir tandaseru.com (2023) memiliki harta kekayaan yang fantastis. Dari tahun pertama, 2019, memiliki total kekayaan Rp 1 miliar lebih, tahun kedua menjadi Rp 2 miliar lebih, tahun ketiga Rp 3 miliar lebih, tahun keempat, 2022, total harta kekayaannya mencapai Rp 5.091.847.844.
Karena itu, terhadap pejabat yang kekayaannya melonjak drastis ini, KPK harus melakukan dua langkah pengecekan, yakni memeriksa kebenaran atas laporan harta kekayaan, dan melakukan adjustment apakah itu penghasilannya wajar atau tidak. Memang “barangkali” bersangkutan memiliki bidang usaha lain sebelum menjabat. Tapi benarkah angka tersebut sesuai dengan bidang usaha yang digeluti?
KPK harus berani membuktikan bahwa tugas maupun fungsinya benar-benar imparsial, tidak tergoyah dengan intervensi maupun tekanan. Karena selama ini kiprah KPK roadshow di Malut belum menunjukkan prestasi yang lebih membanggakan. Hanya supervisi dan selalu supervisi, tapi tidak ada satupun kasus yang diambil alih.
Tunjukkan kepada publik bahwa integritas KPK dapat dipercaya. Sebab jika hukum dan penegak hukum lemah, maka praktik suap akan semakin merajalela, gratifikasi sana sini, kerugian negara tak terselamatkan, pemerasan, perbuatan curang dipertontonkan, dan benturan kepentingan yang dianggap wajar. KPK jangan tebang pilih dan lemah. OTT bukan great achievement, dibandingkan dengan kasus korupsi kelas kakap lain di Malut.
Mengutip Rigoberta Menchu Tum, seorang aktivis perempuan kelahiran Guatemala, dalam tulisannya “The Plague of Corruption: Overcoming Impunity and Injustice” di Global Corruption Report (2021) mengatakan, tanpa lembaga pengawas yang kuat, impunitas akan menjadi landasan utama dibangunnya sistem korupsi. Dan jika impunitas tidak dihilangkan, semua upaya untuk mengakhiri korupsi akan sia-sia.
Corruptio optimi pessima. Corrumpo delenda est. (Korupsi yang terbaik adalah yang terburuk dari semuanya. Koruptor harus dihancurkan!). (*)
Tinggalkan Balasan