Oleh: Ayse Melissa Hamid
Ketua Banom Womenpreneur BPP HIPMI
Meskipun di awal reformasi, telah diterbitkan Inpres No. 9 tahun 2000 yang mengarusutamakan peran laki-laki dan perempuan di sektor pembangunan secara nasional, tetapi instruksi ini tidak menyebut kesetaraan gender dalam sektor pembangunan khusus ekonomi secara spesifik, karena pengarusutamaan gender atas Inpres ini hanya menjelaskan definisi kesetaraan gender secara luas, sebagaimana tertera dalam lampirannya.
Artinya, secara faktual kehadiran Inpres ini belum menjawab problem serius atas ketimpangan gender, terutama dalam kemandirian pengembangan sektor ekonomi yang berdimensi perempuan. Kenyataan ini juga tidak tidak linear dengan 136,38 juta jumlah perempuan di Indonesia, dengan klasterisasi angka usia produktif sebanyak 94, 285 juta, yang nyaris sejajar dengan jumlah laki-laki di usia yang sama dengan total 96, 684 (Katadata, 2023).
Karena itu, kemandirian perempuan dalam ekonomi, tentunya tidak cukup dengan existing regulasi umumnya saat ini, yang berkonsekuensi memicu terjadinya dominasi peran hanya di satu pihak (red: laki-laki). Inilah alasan perlu supaya mendorong pemerintah membuat regulasi ekonomi (regulatory economics) khusus yang cakupannya spesifik bagi kemandirian perempuan.
Urgensi
Secara praktis, geliat perempuan dalam sektor ekonomi semakin meningkat, setidaknya sejak 2022 tercatat oleh Bank Indonesia terdapat 60 persen dari 65 juta usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) yang dipelopori oleh perempuan. Ini dapat dikatakan sebagai satu langkah maju atas kemandirian dalam pengembangan ekonomi bisnis di berbagai tingkatan, baik kecil, menengah, maupun ke level yang lebih tinggi.
Memang hal ini merupakan fakta positif, karena ada lonjakan yang signifikan. Sayangnya perempuan lebih banyak cenderung pada usaha berskala kecil dan tidak pasti. Selain itu, salah satu pemicunya adalah soal keragu-raguan untuk memperluas usaha di sektor yang baru (JawaPos.com 2023). Di satu sisi, mayoritas pengusaha perempuan menghadapi situasi kepemimpinan yang jarang diakui. Usaha perempuan kerap terpinggirkan, sehingga sedikit memiliki peluang pendanaan yang menuntut indikator pemenuhan maskulin.
Ini merupakan tolok ukur yang bias dan menyulitkan pemberdayaan ekonomi bagi perempuan. Dalam studi tahun 2022, nyaris seperempat laki-laki di Indonesia mengklaim bahwa alasannya tidak mendukung perempuan bekerja karena peran perempuan merupakan pengasuh anak-anak. Dua tahun sebelumnya, The World Values Survey menemukan lebih dari tiga perempat masyarakat Indonesia malah setuju dengan pernyataan bahwa, laki-laki semestinya memiliki lebih banyak hak atas pekerjaan dibandingkan perempuan (Lisa Cameron, 2023)
Diskriminasi memang makin terjadi dengan berbagai alasan klasik yang tidak inklusif, termasuk memojokkan ruang kemandirian perempuan dan menghambat perempuan bertumbuh untuk mengembangkan bisnisnya, misalnya mulai dari akses permodalan, proses pengembangan keterampilan, manajerial perusahaan, hingga tahap pemasaran. Dari tahap akses permodalan bisnis, hasil survei Nasional Literasi dan Inklusi Keuangan (2022) membeberkan bahwa perempuan tingkat inklusinya hanya 2, 40 poin, persentasenya lebih kecil dibandingkan dengan laki-laki.
Dari penjelasan di atas, sangat perlu untuk membuat langkah yang dapat mengoreksi kembali marginalisasi perempuan Indonesia selama ini. Pertama, penguatan sumber daya perempuan dengan membawa misi kemandirian ekonomi. Kedua, adalah untuk menciptakan ruang kompetisi yang lebih sejajar. Ketiga, sebagai upaya penghapusan pelabelan yang keliru.
Karena itulah, pentingnya regulatory economics berdimensi perempuan adalah untuk merespons ketimpangan gender yang berdampak pada kesempatan dan jenis usaha yang semakin terbatas, termasuk kecenderungannya untuk fokus bekerja dengan pendapatan seadanya, kondisi kerja eksploitatif dan tidak setara, serta memiliki akses yang terbatas terhadap produk layanan keuangan yang terjangkau.
Pondasi Kemandirian
Perlu diketahui, kemandirian ekonomi merupakan kondisi di mana masyarakat, organisasi, atau negara dapat meningkatkan produktivitas yang dapat memenuhi kebutuhan pribadi dalam batas kesejahteraan diri, dan tidak bergantung kepada orang lain terkait persoalan ekonomi (Basit dkk, 2019).
Penjelasan di atas berkaitan dengan beberapa komponen penting untuk meletakkan pondasi kemandirian perempuan, yaitu menjunjung kehormatan atau harga diri perempuan, haknya untuk menentukan pilihan, memiliki akses terhadap peluang sumber daya, untuk berkuasa dan mengendalikan kehidupan sendiri, serta kemampuan menciptakan perubahan sosial dan ekonomi yang lebih adil.
Saya meyakini, kalau saja pemerintah sungguh-sungguh fokus melibatkan partisipasi perempuan dalam sektor ekonomi, maka setidaknya kontribusi perempuan dalam peningkatan Produk Domestik Bruto jauh lebih meningkat di tahun-tahun mendatang. Tetapi, skenario bisnis yang dijalankan harus lebih matang. Tentunya regulatory economics berdimensi perempuan harus menjadi pondasi awal, sehingga potensi ekonomi di Indonesia sebagai negara berkembang bisa melonjak lebih tinggi.
Demikian halnya fokus kemandirian ekonomi bagi perempuan harus keluar dari pakem yang konvensional, caranya adalah memperbaiki elemen-elemen penting yang mendiskriminasi perempuan. Dengan perbaikan ini, maka ada kepastian regulasi yang dapat mengantisipasi ketidakadilan bisnis antara perempuan dan laki-laki, sekaligus dapat mengatasi kegagalan bisnis yang sering dialami.
Sisi pentingnya adalah pemerintah harus mengambil langkah untuk menjangkau sejumlah besar perempuan yang masih berpenghasilan rendah, bahkan tidak sama sekali, berdasarkan data maupun konektivitas digital. Sehingga, dapat menciptakan iklim keadilan ekonomi bagi perempuan dan kebijakan yang tidak monopolistik. Karena banyak studi yang telah menunjukkan kebijakan pemerataan ekonomi telah diputuskan berdasarkan dominasi patriarki. Ini tidak adil.
Karena itu, ketika perempuan mencapai kemandirian ekonomi, maka ia secara alami kembali menjadi manusia yang berdaulat untuk menentukan keputusannya sendiri di negara ini. Tidak ada perempuan yang bisa berdaya jika tidak mandiri secara ekonomi. Sebagai penutup, saya mengutip puisi Charlotte Perkins Gilman dalam tulisannya Women and Economics (1898) :
Nature hath reclaimed thee, forgiving dispossession! God hath not forgotten, though man doth still forget! The woman-soul is rising, in despite of thy transgression– Loose her now, and trust her!. (*)
Tinggalkan Balasan