Oleh: Salim Taib
Wakil Ketua NU Provinsi Maluku Utara
___
INDONESIA mengalami transisi demokrasi pasca jatuhnya kekuasaan otoriter (Orde Baru), suara Nahdlatul Ulama menjadi rebutan, karena suaranya menjadi rebutan maka elite-elite NU turut diincar untuk dipaketkan menjadi calon wakil Presiden, dapat ditelusuri sejak pemilihan langsung presiden 2004 tokoh-tokoh NU laku dalam pasaran politik Indonesia mulai dari Yusuf Kalla, Hasyim Muzadi, Salahuddin Wahid dan sederetan tokoh NU lainnya, dan hingga kini 2024 NU lagi-lagi menjadi magnet (daya tarik) suaranya. Hal ini dikarenakan para kontestan Calon Presiden dengan latar belakang kader partai politik memandang Ummat Islam Indonesia adalah mayoritas diidentifikasi identitasnya adalah Nahdlatul Ulama, survei terakhir dari Alfara misalnya menyebutkan 59,2 persen mengaku sebagai pengikut Nahdlatul Ulama yang oleh Ketua Umum PBNU Yahya Staqus menyebutnya dengan Identifying themselves sebagai warga NU.
Survei alfara dan banyak lagi lembaga survei lainnya menyebutkan bahwa suara ummat Islam Indonesia memang diidentifikasi mengaku mereka bernaung dalam organisasi Nahdlatul Ulama, hasil survei tersebut berbanding lurus dengan proses kaderisasi secara tertutup dilakukan oleh NU dan seluruh Badan Otonom Nahdlatul Ulama, sebagai misal Badan Otonom Nahdlatul Ulama yakni Gerakan Pemuda Ansor dibenahi proses kadersasinya sejak tahun 1997, PP GP Ansor di bawah kepemimpinan Saifullah Yusuf sebagai ketua umum, diperketat dan dibenahi kembali sistem kaderisasinya melalui kepemimpinan Nusron Wahid, Ansor sebagai badan otonom dari Nahdlatul Ulama sudah tidak sembarang rekrutmen kepengurusannya, yang boleh masuk pengurus kecuali telah mengikuti kaderisasi tertutup yang berjenjang dimulai dari PKD, PKL hingga PKN.
Begitu ketatnya penerapan kaderisasi di Gerakan Pemuda Ansor bahkan di bawah kepemimpinan Yaqut Cholil Qoumas, Ansor terus melakukan kaderisasi yang hingga kini telah mencapai sembilan juta Kader Ansor dan Banser. Tidak ada organisasi kepemudaan di Indonesia yang begitu rapi melakukan kaderisasi selain Gerakan Pemuda Ansor dan Banser sebagai sayap dari GP Ansor.
Kaderisasi di GP Ansor adalah sebuah gambaran terhadap proses kaderisasi atas badan otonom NU lainnya, Fatayat NU, Muslimat NU, ISNU, Pergunu dan puluhan lembaga NU yang terus bergerak kaderisasinya, hasilnya pun terlihat hari ini lembaga surfei yang menempatkan NU 59.2 persen atas ummat Islam Indonesia, dengan suara yang mayoritas tentu tidak mudah membentengi dari tarikan-tarikan kepentingan politik apalagi menjelang kontestasi Pilpres 2024.
Dengan pembacaan peta suara NU secara nasional, maka dapat dikatakan NU menjadi penentu kemenangan dalam pertarungan Calon Presiden 2024. Hal ini dapat dibaca melalui analisis para pengamat politik yang menempatkan NU sebagai basis perebutan suara. Oleh karena itu, fakta yang dapat dianalisis melalui layar depan politik yang dipertontonkan oleh elite-elite NU dalam kontestasi Pilpres 2024 ini, kita dapat melihat bagaimana upaya pecah belah suara NU yang diperebutkan itu adalah menempatkan tokoh-tokoh yang dapat saya sebutkan di antaranya Calon Wakil Presiden Muhaimin Iskandar dan Mahfud MD, hal ini sebagai bagian dari startegi elektoral.
Saat ini tengah ramai dibicarakan figur atau tokoh dari Nahdlatul Ulama (NU) yang masuk menjadi cawapres untuk mendampingi capres usungan tiap koalisi seperti telah terjadi saat ini. Hal ini diyakini adanya pecah suara basis NU pada pemilu 2024 nanti. Pengamat politik Ujang Komarudin mengungkapkan pecah suara dalam tubuh basis massa NU akan mengakibatkan ketegangan dalam internal NU. Ujang Kamarudin menyebut idealnya adalah hanya satu pasangan calon saja yang menghadirkan tokoh NU dalam pemilihan presiden mendatang. Hal ini untuk menghindari ketegangan dalam tubuh NU. NU akan mengalami ketegangan-ketegangan selama Pilpres selagi atau selama cawapresnya tidak satu. NU bagaimanapun dalam konteks elektoral atau pemilihan secara langsung dibutuhkan suaranya, dibutuhkan basis massanya, dibutuhkan pemilihnya yang jumlahnya terbesar di Republik ini.
Jika melihat dinamika politik ini, dari basis NU telah menjadi rebutan untuk disandingkan dengan calon presiden yang telah diusung dari masing-masing koalisi. Mahalnya suara Nahdlatul Ulama untuk menaikkan elektoral masisng-masing calon presiden, sejatinya menjadi daya tarik untuk dimaksimalkan komunikasi-komunikasi politik. Oleh karena itu, pada konteks elektoral suara NU memang didesain untuk tidak boleh terjadi penyatuan pada salah satu kandidat calon presiden. Harus dibelah.
Keterbelahan telah terjadi dengan manuver-manuver elite politik NU yang tersebar di berbagai partai politik, katakanlah Jaringan Gusdurian oleh Yeni Wahid telah mendeklarasikan dukungan politik pada Ganjar dan Mahfud MD, tentu dengan alasan yang mendasarinya bahwa Mahfud adalah bagian yang tidak dapat dipisahkan dari Abdurrahman Wahid, bahwa Mahfud MD adalah anak idiologis dari seorang Gusdur. Di tempat lain, Nusron Wahid dengan relawannya membentuk Jagad Prabowo yang mengkonsolidir kekuatan-kekuatan kader-kader Nahdlatul Ulama mendeklarasikan dukungannya pada Prabowo-Gibran. Polarisasi tidak hanya terjadi pada dua kutub antara Ganjar-Mahfud dan Prabowo-Ghibran, akan tetapi suara basis NU juga preferensi politiknya berada pada Anies-Muhaimin.
Tiga kekuatan pertarungan politik pada Pilpres 2024 terlihat dengan sangat jelas tokoh-tokoh NU membelah dirinya atau dipaksa terbelah oleh kekuatan di luar selain NU. Hal ini dimungkinkan terjadi karena suara NU begitu menggiurkan sebagai kantong-kantong kemenangan, yang menjadi menarik adalah Nahdlatul Ulama secara struktural dengan lantang Yahya Stakuf menegaskan bahwa PBNU tidak terkait dengan salah satu pasangan capres-cawapres. Dia mengatakan tidak ada capres-cawapres atas nama NU. Soal sikap sudah saya sebutkan berulang kali, saya tegaskan sekali lagi di sini, tidak ada calon atas nama NU. Saya ulangi ya, tidak ada calon atas nama NU. Kalau ada klaim bahwa kiai-kiai PBNU merestui itu sama sekali tidak benar. Karena tidak pernah ada pembicaraan di dalam PBNU mengenai calon sama sekali. Lanjut Gus Yahya mengatakan warga NU terdidik dan cerdas. Menurutnya, warga NU bisa berpikir mandiri dan menentukan pilihannya sendiri sesuai dengan kebutuhannya.
Gus Yahya mengaku tak kaget dengan kenyataan bahwa warga NU jadi rebutan banyak capres-cawapres dan partai politik di musim pemilu karena menginginkan suara dari kelompok NU. Menjelang pemilihan umum (Pemilu) 2024, warga Nahdlatul Ulama (NU) diimbau untuk tidak mengikuti ajakan kebencian dan melihat rekam jejak politisi, sebelum menentukan pilihan. Imbauan tersebut diungkapkan oleh Ketua Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Hj Alissa Qotrunnada Munawaroh Wahid untuk seluruh warga NU se-Indonesia, agar mampu menentukan pilihan dengan baik dan menghindari politik identitas pada Pemilu 2024 mendatang. “Jangan ikut ajakan kebencian yang dilontarkan, terutama oleh politisi. Itu penting banget, karena para politisi itu sedang menjual dirinya sendiri. Kalau ada politisi yang menjelekkan kandidat-kandidat lain, kita harus lari dari politisi itu. NU telah menentukan sikap kembali ke khittah 1926 bahwa NU tak lagi terlibat dalam politik praktis dan menjadi organisasi sosial keagamaan yang mengusung politik kebangsaan”. (*)
Tinggalkan Balasan