Oleh: Salim Taib
Ketua Bidang Ideologi dan Kaderisasi DPD PDI Perjuangan Provinsi Maluku Utara

___

AKHIR-akhir ini perkembangan politik Indonesia menjelang kontestasi Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia 2024 penuh krasak krusuk yang di pragakan oleh elit politik untuk menggapai kekuasaan Presiden. Pergerakan politik terasa panas dan oleh sebagian masyarakat memandang hanya karena keinginan mempertahankan kekuasaan supaya dapat di pertahankan 5 tahun yang akan datang, aturan yang menjadi the rule of model dalam dunia demokrasi Indonesiapun di tabrak atas nama keberlanjutan kekuasaan. Kekuasaan politik sering kali menggeser keinginan untuk merubah aturan pembatasan kekuasaan yang berlaku dua periode, menjadi tiga hingga empat periode, dalam keinginan perubahan atas batasan periodesasi tersebut ada upaya tes case elit politik melalui suara yang di lontarkan skoci-skoci politik yang di bentuk oleh kekuasaan, tiga tahun lalu melalui mulut LBP dan Cak Imin sempat menjadi wacana panas bak bola api yang di lemparkan dan terus digulirkan akhirnya wacana itu berhenti ketika Ketua Umum DPP PDI Perjuangan Ibu Haja Megawati Soekarno Putri mengeluarkan stateman keras bahwa pembatasan kekuasaan Presiden dua periode adalah sesuatu yang ideal dan bersifat final.

Gagalnya narasi keberlanjutan kekuasaan presiden lebih dari dua periode memberi ruang ekspansi pada skema kedua, bahwa keberlanjutan kekuasaan presiden tidak harus berhenti pada tiga periode yang di anggap mendapatkan tantangan dan perlawanan ketika tescase wacana tersebut di gulirkan, kini yang tampak terlihat skema kedua begitu sukses bahwa mempertahankan kekuasaan dalam model dan cessing yang lain. Perubahan cessing melalui proses pencalonan Gibran Raka Buming Raka sebagai Wakil Presiden Republik Indonesia yang berpasangan dengan Prabowo Subianto adalah bagian dari skema kekuasaan dalam strategi mempertahankan kekuasaan presiden Republik Indonesia.

Jika kekuasaan presiden itu diandaikan otoritasnya seperti kekuasaan kepala desa, maka tidak akan mungkin sebegitu keras tabrakan kepentingan yang di pertontonkan oleh para pemburuh kekuasaan dengan segala dalih dan narasinya. Banyak pengamat politik telah memberi komentar atas perubahan pasal Undang-undang Pemilu bahwa syarat Calon Wakil Presiden berusia Minimal 40 tahun, atau berpengalaman pernah menjadi wali kota, bupati dan Gubernur yang di pilih langsung oleh Rakyat, yang diputuskan oleh lembaga Mahkama Konstitusi adalah wujud dari kuatnya Politik Dinasti yang di mainkan oleh Kekuasaan. Dalam Penegakan hukum di Indonesia, sering tergagap ketika terbentur kepentingan politik atau perkara yang ditanganinya bersentuhan langsung dengan kekuatan politik yang sedang berkuasa meski pada kondisi tertentu penegak hukum cukup tegas menghadapi penguasa, namun secara umum tidak demikian dan bahkan terkesan alergi penguasa.

Akibat dari keberanian MK memutuskan perubahan atas pasal tersebut, publik pun kemudian mempersepsikan Mahkamah Konstitusi berubah menjadi Mahkama keluarga, bagaimana tidak ketua mahkamah konstitusi Anwar Usman adalah paman dari Gibran Raka Buming Raka, berbeda jika keputusan perubahan tersebut menjadi ruang seluruh anak muda yang berusia di bawa empat puluh tahun, disinilah sisi gelap dari Dinasti poltik. Akibat Dari Politik Dinasti ini maka banyak pemimpin menjadi politisi yang mempunyai pengaruh sehingga semua keluarga termasuk anak dan istri berbondong-bondong untuk dapat terlibat dalam system pemerintahan.

Bukan sekedar gejala adanya politk dinasti yang telah tumbuh dan berkembang dalam ruang demokrasi saat ini di Indonesia, tapi benar-benar telah terjadi Menurut Zulkieflimansyah Dampak Negatif Apabila Politik Dinasti tidak dilawan maka berakibat pada: satu; Menjadikan partai sebagai mesin politik semata yang pada gilirannya menyumbat fungsi ideal partai sehingga tak ada target lain kecuali kekuasaan. Dalam posisi ini, rekruitmen partai lebih didasarkan pada popularitas dan kekayaan caleg untuk meraih kemenangan. Di sini kemudian muncul calon instan dari kalangan selebriti, pengusaha, “darah hijau” atau politik dinasti yang tidak melalui proses kaderisasi. Dua; Sebagai konsekuensi logis dari gejala pertama, tertutupnya kesempatan masyarakat yang merupakan kader handal dan berkualitas. Sirkulasi kekuasaan hanya berputar di lingkungan elite dan pengusaha semata sehingga sangat potensial terjadinya negosiasi dan penyusunan konspirasi kepentingan dalam menjalankan tugas kenegaraan. Ketiga; Sulitnya mewujudkan cita-cita demokrasi karena tidak terciptanya pemerintahan yang baik dan bersih (clean and good governance). Fungsi kontrol kekuasaan melemah dan tidak berjalan efektif sehingga kemungkinan terjadinya penyimpangan kekuasaan seperti korupsi, kolusi dan nepotisme

Politik Dinasti dapat membuat orang yang tidak berkompeten memiliki kekuasaan, tapi hal sebaliknya pun bisa terjadi, dimana orang yang kompeten menjadi tidak dipakai karena alasan bukan keluarga. Di samping itu, cita-cita kenegaraan menjadi tidak terealisasikan karena pemimpin atau pejabat negara tidak mempunyai kapabilitas dalam menjalankan tugas. Maka dari itu dinasti politik bukanlah sistem yang tepat untuk diterapkan di Negara kita  Indonesia, sebab negara Indonesia bukanlah negara dengan sistem pemerintahan monarki yang memilih pemimpin berdasarkan garis keturunan.

Sistem Demokrasi meniscayakan keterpilihan pemimpin politik kekuasan dengan keterlibatan rakyat secara total karena Vox Populi Vox Die suara rakyat adalah suara Tuhan. Kata rakyat atau demos ”, dan kata politik sebagaimana ditulis konstitusi kita pada dasarnya merujuk pada hal yang sama, yakni ”polis” atau kemaslahatan  umum yang dalam kaidah fiqih menyebutkan “tasyarruful Imaam Arra’iyatu manutum bil mashlahah” bahwa kepemimpinan politik itu hakekatnya adalah menciptakan kemakmuran untuk semua orang. Artinya, politik dalam  paham ketatanegaraan kita secara prinsipiil harus bersumber dan  sekaligus diarahkan dengan  tujuan untuk kemaslahatan orang banyak.

Politik  dinasti berlawanan dengan paham di atas karena di dalamnya yang menjadi  dasar sekaligus tujuan adalah kepentingan pribadi ( private interest ). Konsep demokrasi yang kita terima secara prinsipiil berarti  mengedepankan legitimasi dan reproduksi kekuasaan yang melibatkan orang  banyak. Artinya, sekali lagi mau ditegaskan bahwa politik selalu adalah urusan ” yang umum ” atau ” yang publik “,  prinsip ini tidak dapat  ditelikung dengan manipulasi uang, media, dan eksploitasi budaya  patronase yang masih kuat. Pada akhirnya, yang lebih penting adalah kita  tidak boleh lupa bahwa nama depan Indonesia adalah republik, bentuk ini  dipilih bukan tanpa sebab di dalam republik ada pendirian, cita-cita,  dan etika. Dalam pengertian yang paling sederhana, republik adalah tanda  dari penentangan yang serius terhadap politik dinasti.

Indonesia hari-hari ini mengejawantahkan praktik  pemerintahan raja-raja, alias politik dinasti, para pendiri bangsa kita menetapkan  keyakinan pada kerangka kebersamaan untuk kemaslahatan umum, di mana  kekuasaan diproduksi secara sosial melalui suatu mekanisme demokratis  dan partisipatif, bukan diturunkan secara biologis. Dalam  Republik, para pendiri bangsa yang egalitarian membuang cara pandang  feodal yang membuat para elite dan keluarga kaya. Penguasa memandang diri dan keluarga mereka sebagai makhluk-makhluk istimewa yang berbeda  derajatnya dengan kebanyakan rakyat. Mari kita membaca secara benar dan memberi hukuman untuk tidak memberi ruang tumbuh suburnya “Politik Dinasti” 2024 pada Republik Indonesia yang kita cintai ini. (*)