TERNATE, TN – Majelis Wilayah KAHMI Maluku Utara (Malut) menggelar silaturahmi dan dialog kebangsaan dengan tajuk “Memotret Wajah Demokrasi Indonesia Saat ini” di Kafe Rotasi, Kelurahan Kalumata, Kota Ternate, Kamis (26/10) malam. Kegiatan ini menghadirkan narasumber utama Anas Urbaningrum, Ketua PB HMI 1997-1999 yang sekarang sebagai Ketua Umum DPP Partai Kebangkitan Nusantara (PKN). Selain Anas, Sosiolog Maluku Utara Herman Usman juga hadir sebagai pembicara.
Dialog kebangsaan yang dipandu Sekretaris Wilayah KAHMI, Hasbi Yusuf ini dihadiri sejumlah tokoh lokal, seperti Muhammad Hasymi Syaban, Muhlis Tapi Tapi, Edi Langkara, Abd Rahim Odeyani, Malik Ibrahim, Rahmi Husen, Iskandar Idrus, Azis Hasyim, Bahtiar Kadir dan M. Ardiansyah, Nurdin I. Muhammad, serta sejumlah akademisi, politisi dan ratusan aktivis mahasiswa.

Dialog terbilang berjalan menarik. Para tokoh lokal yang sekarang menduduki jabatan strategis di daerah mengemukakan kegelisahan menyangkut ketidakadilan pemerintah pusat ke daerah. Seperti halnya Edi Langkara. Mantan Bupati Kabupaten Halmahera Tengah (Halteng) itu mengatakan, setiap kepala daerah sejauh ini belum memiliki keberanian untuk memperjuangkan daerah yang dipimpinnya untuk memperoleh sesuatu dari pemerintah pusat. Lihat saja, kata dia, sebagian besar yang memiliki izin pertambangan adalah pemodal besar yang berada di Jakarta. Tokoh dan kepala daerah malah tidak bisa berbuat banyak, karena tidak memiki jejaring yang kuat di Jakarta.
Hal yang sama disampaikan Wakil Bupati Halmahera Utara (Halut), Muhlis Tapi Tapi. Menurutnya, setiap kepala daerah di Maluku Utara sejauh ini belum memiliki kemadirian untuk membangun daerahnya, tetapi harus berkolaborasi pihak lain, termasuk pemodal. Jika sudah begitu, maka setiap kegiatan di daerah sudah pasti diinterfensi oleh pihak yang memiliki modal.
Merespons keluhan sejumlah para tokoh tersebut, Anas Urbaningrum menuturkan, memang sekarang ini Jakarta cukup adil. Kata dia, cukup adil bukan berarti sudah adil. Ada kewenangan tertentu mestinya diserahkan ke daerah untuk mengurusnya. Terkait izin pertambangan, Jakarta menariknya ke pusat dengan alibi satu pintu. Padahal, tidak semua masalah di daerah diketahui Jakarta. Pemerintah pusat memiliki keterbatasan pengetahuan tentang masalah-masalah yang terjadi di daerah. “Nah, untuk kolaborasi, boleh saja berkolaborasi dengan pihak lain. Tetapi harus kolaborasi yang idealis, jangan berkolaborasi dengan hantu,” tutupnya. (kov)
Tinggalkan Balasan